Senin, 10 Maret 2014

UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1966
TENTANG
KESEHATAN JIWA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa.
Mengingat:
(a) Pasal 2 Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan Undang-undang Tahun 1960 No.9 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131).
(b) Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945


Dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN:
I. Mencabut: Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl. 1897 No. 54 dengan segala perubahan dan tambahan tambahannya).
II. Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN JIWA.
BAB I
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1
Yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini dengan:
(1) Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu Kedokteran sebagai unsur daripada kesehatan yang dimaksudkan dalam pasal 2 Undang-undang Pokok-pokok Kesehatan (Undang-undang Tahun 1960 No. 9 Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131).
(2) Penyakit jiwa adalah sesuatu perubahan pada fungsi jiwa, yang menyebabkan adanya gangguan pada kesehatan jiwa, seperti yang dimaksudkan dalam sub (a).
Pasal 2
(1) Usaha-usaha dalam bidang kesehatan jiwa, perawatan, pengobatan penderita dan penyaluran bekas penderita penyakit jiwa (selanjutnya disebut: sipenderita) yang dimaksudkan dalam Bab II pasal 3, Bab III pasal 4 dan Bab V Pasal 10 dilakukan oleh Pemerintah dan/atau badan swasta.
(2) Dalam usaha-usaha seperti dimaksudkan dalam ayat (1) Pemerintah perlu mengikutsertakan masyarakat.
BAB II
PEMELIHARAAN KESEHATAN JIWA.

Pasal 3.
Dalam bidang kesehatan jiwa usaha-usaha Pemerintah meliputi:
a. Memelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
b. Menggunakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan kemampuannya.
c. Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan dan sebagainya sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa.
d. Mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.
e. Usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan.

BAB III.
PERAWATAN DAN PENGOBATAN PENDERITA PENYAKIT JIWA.

Pasal 4.
(1) Perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa (selanjutnya disebut perawatan diatur oleh Menteri Kesehatan).
(2) Menteri Kesehatan mengatur, membimbing, membantu dan mengawasi usaha-usaha swasta, sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Pokok Kesehatan.
Pasal 5.
(1) Untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan harus ada permohonan dan salah seorang yang tersebut di bawah ini:
a. Sipenderita, jika ia sudah dewasa.
b. Suami/isteri atau seorang anggota keluarga yang sudah dewasa.
c. Wali dan/atau yang dapat dianggap sebagai sipenderita.
d. Kepala Polisi/Kepala Pamongpraja di tempat tinggal atau di daerah dimana sipenderita ada.
e. Hakim Pengadilan Negeri, bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan, bahwa yang bersangkutan adalah penderita penyakit jiwa.

(2) Petugas-petugas yang dimaksudkan dalam ayat (1) sub d mengajukan permohonan:
a. jika tidak ada orang seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1) sub b dan c.
b. jika sipenderita dalam keadaan terlantar.
c. demi kepentingan ketertiban dan keamanan umum.

Pasal 6
(1) Perawatan dan pengobatan atas permohonan tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub a, b dan c, diselenggarakan setelah diadakan pemeriksaan oleh dokter, yang menetapkan adanya penderita-penderita penyakit jiwa dan sipenderita perlu dirawat.
(2) Dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam, petugas yang tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub d wajib mengusahakan keterangan dari dokter bahwa yang bersangkutan memang menderita penyakit jiwa.
Pasal 7
Jika ada keraguan apakah seseorang menderita penyakit jiwa atau tidak, Menteri Kesehatan dapat menunjuk ahli-ahli untuk menetapkannya.
Pasal 8
(1) Seorang dalam perkara pidana, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) sub e, dapat dirawat untuk diobservasi selama-lamanya 3 bulan.
Waktu itu dapat diperpanjang, jika dokter yang memeriksanya menganggap perlu.
(2) Jika orang yang dimaksudkan dalam ayat (1) ternyata menderita penyakit jiwa, ia segera mendapat perawatan, jika tidak, ia diserahkan kembali kepada Hakim Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dokter tersebut dalam ayat (1) harus memberikan laporan tertulis dalam waktu 14 hari terhitung mulai tanggal dimasukkannya sipenderita ke dalam tempat perawatan kepada Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB IV.
HARTA-BENDA MILIK PENDERITA.

Pasal 9.
(1) Hakim Pengadilan Negeri setempat menetapkan, bahwa sipenderita tidak mampu mengelola sendiri harta-benda yang ada padanya miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.
(2) Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) menetapkan siapa yang berhak mengelola dan/atau mengurus harta-benda sipenderita tersebut dalam ayat (1).
(3) Penetapan Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) dapat dikeluarkan atas permohonan mereka yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) sub a, b, c dan d.
BAB V.
PENAMPUNGAN BEKAS PENDERITA PENYAKIT JIWA
Pasal 10
Pemerintah melakukan usaha-usaha untuk:
a. Melaksanakan penyaluran dalam masyarakat bagi penderita yang telah selesai mendapat perawatan.
b. Membangkitkan dan membantu kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang mempunyai tujuan untuk merehabilitasikan dan membimbing penderita.

BAB VI.
PENGAWASAN

Pasal 11
(1) Pengawasan pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan serta penampungan penderita yang dimaksudkan dalam Bab II Pasal 3 Bab III Pasal 5, 6, 7 dan Bab V Pasal 10 dilakukan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Usaha-usaha dalam bidang kesehatan jiwa, berdasarkan lain daripada kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 sub a, diawasi oleh Menteri Kesehatan.
BAB VII.
KETENTUAN PENUTUP.

Pasal 12
Pelaksanaan Undang-undang ini dan hal-hal lain yang tidak/ belum ditetapkan dalam Undang-undang ini, dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 13
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa 1966."
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 1966

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 11 Juni 1966.

SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1966 NOMOR 23

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 3,TAHUN 1966
TENTANG
KESEHATAN JIWA.

PENJELASAN UMUM.
Undang-undang Kesehatan Jiwa ini adalah pelaksanaan dari pada Undang-undang Pokok Kesehatan (Undang-undang Tahun 1960 No. 9 Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131). Dengan Undang-undang ini diatur kesehatan jiwa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal I Undang-undang Pokok Kesehatan; disitu dikatakan, bahwa "kesehatan" meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial. Materi Undang-undang ini yalah: kesehatan jiwa dan penyakit jiwa.
Dalam Undang-undang ini diatur kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran: Undang-undang ini tidak melangkah kebidang jiwa menurut ilmu pendidikan, dan sebagainya.

Hingga sekarang hanya ada peraturan mengenai penderita penyakit jiwa yaitu: "Het Reglement op het Krankzinnigenwezen" (Stbl. 1897 No. 54 dan seterusnya). Dengan Undang- undang ini Reglement tersebut dibatalkan. Dan materi perawatan/pengobatan penderita penyakit jiwa, yang ada dalam Reglement tersebut disesuaikan dengan jiwa Undang-undang Pokok Kesehatan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
a. Kesehatan Jiwa (mental health) menurut faham ilmu kedokteran pada waktu sekarang adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan physik, intelektuil dan emosionil yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang-orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
b. Gangguan dalam perkembangan itu seperti tersebut dalam sub a, yang menjelma sebagai perubahan dalam fungsi jiwa seseorang itu, merupakan penyakit jiwa.

Pasal 2.
Pasal ini menegaskan, bahwa usaha-usaha kuratif maupun preventif demi kepentingan penderita penyakit jiwa adalah tugas pemerintah.
Sekalipun demikian pintu terbuka bagi swasta untuk bekerja dilapangan pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan penderita dan penampungan bekas penderita penyakit jiwa. Pemerintah (i.c. Menteri Kesehatan) menetapkan peraturan-peraturan khusus mengenai usaha swasta tersebut, serta memberikan bimbingan dan bantuan sesuai dengan Pasal 14 ayat (I ) dari Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan.
Dalam usaha untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (lihat pasal 1 Undang-undang Pokok Kesehatan Undang-undang Tahun 1960 No. 9), tiap warga negara perlu aktif ikut serta dalam usaha-usaha kesehatan. Prinsip ini dinyatakan juga (dikonkritisir) dalam bidang kesehatan jiwa (umpama masyarakat diikut-sertakan dalam usaha pendidikan mengenai pemeliharaan kesehatan jiwa).
Pasal 3.
a. Yang dimaksudkan dengan masa pendidikan adalah masa anak-anak semasa bayi, semasa sekolah dan lain sebagainya.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
d. Ketenteraman hidup baik sprituil maupun materiil dalam lingkungan keluarganya maupun dalam hubungan dengan masyarakat, mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Se- bagai anggota dari keluarga dan masyarakat, tiap-tiap orang mempunyai peranan dan pengaruh dalam kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
e. Kini sedang dalam taraf penyelidikan sampai dimana usaha demi kesehatan jiwa yang dilakukan dengan tambahan pengetahuan-pengetahuan Timur dapat dipergunakan dengan tambahan pengetahuan menurut ilmu kedokteran.

Pasal 4.
Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai perawatan/pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa.
Usaha-usaha dari badan-badan swasta untuk mendirikan sebuah tempat perawatan harus ada ijin dari Menteri Kesehatan seperti yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dari Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan.
Pasal 5.
Yang dianggap sebagai wali umpamanya komandan suatu pasukan, pemimpin asrama, dan lain-lain orang yang menurut ketentuan hukum dapat bertindak sebagai wali.
Pasal 6.
Jika seseorang penderita diharuskan dirawat disebuah tempat perawatan, maka dilihat dari sudut hukum hak kemerdekaan (kebebasan) bergerak sipenderita dibatasi. Perbuatan demikian adalah suatu perbuatan pidana, kecuali jika pembatasan kebebasan bergerak itu berdasarkan sesuatu Undang-undang.
Maka oleh sebab itu seorang penderita hanya dapat dirawat jika ada keterangan dokter (laporan Polisi/Kepala Pamong-Praja dan Hakim Pengadilan Negeri).
Berdasarkan Undang-undang ini dokter yang menempatkan seorang penderita dalam sebuah tempat perawatan, sehingga ia membatasi hak kebebasan bergerak sipenderita, tidak melakukan suatu perbuatan pidana.
Seorang dokter yang, mengharuskan seorang penderita di- rawat disebuah Rumah Sakit Jiwa dengan menyalah gunakan kedudukan atau keahliannya dapat dihukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 333 dan seterusnya).
Untuk menetapkan apakah seorang penderita penyakit jiwa harus dirawat dan diobati disebuah tempat perawatan, harus ada surat keterangan dokter: keterangan dokter itu menerangkan hasil pemeriksaan dan pendapatnya perihal sipenderita. Menurut pasal 11 Menteri Kesehatan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan Undang-undang ini. untuk memperlindungi kepentingan sipenderita, Menteri Kesehatan mengawasi juga hasil pemeriksaan dan pendapat dokter tersebut.
Demi ketertiban, keamanan dan perikemanusiaan, petugas yang tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub d berkewajiban dan bertanggung jawab atas terlaksananya perawatan dan pengobatan penderita.
Pasal 7.
Mengingat ketentuan dalam pasal 1, dokter yang dimaksud dalam pasal 6 menyatakan, bahwa seseorang adalah penderita penyakit jiwa dan oleh karenanya ia perlu dirawat disuatu tempat perawatan.
Untuk menghindarkan keragu-raguan atas kebenaran pernyataan dokter tersebut diatas, Menteri Kesehatan dapat mendengar pendapat para ahli dalam hal itu.
Pasal 8.
1. Jika disesuatu perkara pidana terdapat seseorang yang memberikan kesan tidak berpikir sehat, sehingga pada hakim timbul dugaan bahwa ia seorang penderita penyakit jiwa maka Hakim tersebut dapat meminta pendapat seorang dokter. Orang itu dikirimkan kepada seorang dokter,dokter tersebut selekas- lekasnya memberikan pendapatnya tentang sipenderita. Berhubung dengan sifatnya penyakit jiwa, ada kalanya sipenderita harus diobservasi, dan observasi ini meminta waktu, yang ditetapkan selama-lamanya 3 bulan.
2 dan 3. Cukup jelas.
Pasal 9.
1. Jika ternyata bahwa seseorang penderita penyakit jiwa tak dapat dipertanggungjawabkan menguasai harta bendanya, karena ia merusak, membahayakan keadaan disekitarnya dan lain-lain, maka harta benda penderita dilindungi oleh hukum; dengan pasal ini perlindungan hak milik sipenderita diserahkan kepada Hakim
Hakim pengadilan Negeri seyogyanya minta pertimbangan kepada instansi-instansi setempat seperti peradilan Agama atau badan-badan lain yang dianggap perlu oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam hal pengelolaan harta-benda dengan pengetahuan/persetujuan ahli waris yang bersangkutan.
2 dan 3. Cukup jelas. -
Pasal 10.
Usaha-usaha lebih lanjut dari Pemerintah bagi penderita yang telah mendapat perawatan dan pengobatan meliputi penyaluran, penempatan, rehabilitasi dan bimbingan bekas penderita dalam masyarakat.
Usaha swasta dalam hal ini memerlukan bantuan dari Pemerintah. Penyelenggaraan ketentuan ini memerlukan juga kerjasama antara pelbagai instansi-instansi Pemerintah.
Pasal 11.
1. Pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam beraneka usaha demi kepentingan kesehatan jiwa, perawatan-pengobatan penyakit jiwa dan penampungan bagi penderita yang termasuk dalam pasal ini diawasi oleh Menteri Kesehatan.
Pemusatan pengawasan pada Menteri Kesehatan ini melekat pada pertanggungan jawabnya untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dan Negara.
2. Lihat penjelasan Pasal 3 sub e.
Pasal 12 s/d 14.



 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_3_66.htm


0 komentar:

Posting Komentar